Ironi Kekerasan oleh Oknum Pegawai Lapas Terhadap Dosen Sebuah Luka bagi Hukum, Budaya, dan Kemanusiaan
Oleh : Fiki Bahta – Pemuda Nasionalis & Creative Maluku
Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh oknum pegawai Lembaga Pemasyarakatan (lapas) terhadap seorang dosen adalah cermin krisis etika dan kemanusiaan yang serius. Peristiwa ini tidak hanya mencoreng wajah penegakan hukum, tetapi juga melukai nilai-nilai budaya, pendidikan, dan konstitusi yang menjadi dasar hidup berbangsa.
Kecaman Moral dan Sosial
Pertama-tama, kita harus menyatakan kecaman tegas terhadap kekerasan dalam bentuk apa pun, terlebih jika dilakukan oleh aparat negara yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat. Dosen sebagai insan akademik dan intelektual memiliki peran penting dalam pembangunan bangsa. Ketika ia menjadi korban kekerasan, yang diserang bukan hanya tubuhnya, tapi martabat ilmu dan kebebasan berpikir itu sendiri.
Kekerasan oleh aparatur penegak hukum adalah bentuk penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang tidak hanya melanggar hukum positif, tapi juga menghancurkan kepercayaan publik terhadap institusi negara.
Pendekatan Sosial Budaya: Menolak Kekerasan, Menjaga Martabat
Dalam konteks budaya Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai musyawarah, sopan santun, dan hormat kepada guru, tindakan ini adalah pengkhianatan terhadap nilai-nilai luhur bangsa. Seorang dosen, dalam budaya kita, diposisikan hampir setara dengan orang tua, bahkan guru bangsa. Maka tindakan kekerasan terhadap dosen adalah juga pelanggaran terhadap tatanan sosial kultural kita.
Lebih dari itu, pendekatan budaya dalam menyelesaikan konflik selalu menekankan dialog, empati, dan solusi damai bukan tindakan fisik yang merendahkan martabat manusia.
Landasan Konstitusional: Pelanggaran Terhadap UUD 1945
Perilaku kekerasan ini jelas bertentangan dengan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya…”.
Juga bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1) yang menjamin hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan martabat manusia. Hal ini diperkuat oleh UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, serta prinsip Presumption of Innocence dalam KUHAP.
Kekerasan Bukan Solusi, Tapi Penghancur Peradaban.
Tindakan kekerasan, apalagi oleh oknum negara, tidak boleh dianggap insiden kecil. Ia harus diusut tuntas secara hukum, dikritik secara sosial, dan diperbaiki secara sistemik. Kita butuh aparat yang bukan hanya taat aturan, tapi juga berbudaya, beretika, dan berempati.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa membangun bangsa bukan hanya soal infrastruktur, tapi juga karakter manusia dan martabat profesi. Pendidikan dan hukum harus dijaga, bukan diinjak oleh tangan-tangan yang seharusnya mengayomi. (***)